PENDAHULUAN
Energy listrik merupakan salah satu
factor yang penting untuk mencapai sasaran pembangunan nasional, sehingga perlu
diusahakan agar serasi, selaras, dan serempak dengan tahapan pembangunan
nasional. Sasaran pembangunan ketenaga listrikan harus selalu menunjang setiap
tahapan pembangunan nasional, dalam meningkatkan kesejahteraan masyrakat maupun
dalam mendorong peningkatan ekonomi. Pentingnya peranan listrik dapat ditinjau
dari penggunaannya untuk beberapa bidang yaitu antara lain: bidang produksi
seperti industry dan pabrik, bidang penelitian dan riset, bidang pertahanan dan
keamanan, bidang komunikasi dan media massa, bidang rumah tangga. Dan lain
sebagainya.
Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun
2009 tentang ketenagalistrikan menyatakan bahwa tenaga listrik mempunyai peran
yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional,
maka usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan penyediaannya
perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia
tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, merata, dan bermutu. UU Nomor 30 Tahun
2009 Pasal 3 ayat 1 menyatakan bahwa penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh
Negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
berlandaskan prinsip otonomi dearah. Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga
listrik oleh pemerintah dengan membentuk badan usaha milik Negara (Pasal 4 ayat
1 UU Nomor 30 Tahun 2009).
Dalam UU Nomor 30 Tahun 2009 Pasal
33 dinyatakan bahwa tarif usaha penyediaan tenaga listrik. Pengelolaan usaha
oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) selain berpedoman pada UU Nomor 30
Tahun 2009 juga berpedoman pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) kerana statusnya selain BUMN. Dengan demikian, PLN harus
mengejar keuntungan sebagaiamana dalam butir Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 12 UU
tersebut. Dalam kaitan ini, apabila diperlukan, pemerintahan dapat memberikan
penugasan kepada BUMN untuk melakukan kewajiban pelayanan umum (Publik service
obligation/PSO) dengan tetap memberikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN dan
setiap penugasan kewajiban pelayanan umum harus terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan RUPS/Mentri (Pasal 66).
Kebijakan penentuan harga jual
listrik (TDL) sampai saat ini selalu mengandung subsidi listrik sebagai salah
satu bentuk pemberian keringanan beban bagi masyarakat yang dianggarkan dalam
anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN). Penyediaan dana subsidi listrik
dianggarkan dalam APBN atau APBN-Perubahan. Subsidi merupakan pembayaran yang
dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan
tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk
dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah.
PERHITUNGAN
DAN PEMBAYARAN SUBSIDI LISTRIK
Belanja subsidi ditujukkan untuk
meringankan beban masyarakat yang kurang/tidak mampu guna memperoleh bahan
bakar miyak (BBM), listrik, beras, pupuk, dan lainnya dengan harga yang murah
atau terjangkau.Berdasarkan data realisasi subsidi APBN, selama ini
meningkatnya angka subsidi APBN di-drive salah satunya yaitu oleh besaran
subsidi listrik.Sejak tahun 2005, subsidi listrik memiliki kecenderungan yang
terus meningkat tajam hingga tahun 2008. Jumlah anggaran yang dialokasikan
untuk subsidi naik Rp 88,1 triliun dari Rp 120,8 triliun (2005) menjadi Rp
208,9 triliun (2012).
Pelaksanaan subsidi listrik oleh
pemerintah pusat selama ini, dapat dibedakan menjadi dua era, yaitu sebagai
berikut :
1.
Era sebelum tahun 2007
1.
Golongan
tarif S-1, S-2, R-1, I-1, dan B-1 diberikan untuk pelanggan dengan daya
terpasang sampai dengan 450 Volt Ampere.
2.
Besarnya
subsidi adalah selisih negative antara hasil penjualan listrik rata-rata
(Rp/kWh) dikurangi HPP (Rp/kWh) rata-rata tegangan rendah dikalikan volume
penjualan (kWh) untuk setiap golongan tarif.
Selanjutnya pada tahun 2005 dengan adanya kebijakan harga jual
listrik yang tetap (tidak disesuaikan/tidak dinaikkan), subsidi listrik
diperluas dengan batasan umum sebagai berikut.
1.
Subsidi
listrik diberikan kepada pelanggan dengan golongan tarif yang harga jual tenaga
listrik rata-ratanya lebihh rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di
golongan tarif tersebut.
2.
Besarnya
subsidi listrik dihitung dari selisih negative antara harga jual tenaga listrik
rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing golongan tarif tersebut dikalikan volume
penjualan (kWh) untuk setiap golongan tarif.
Pada era ini, perhitungan subsidi belum memperhitungkan adanya
margin agar PLN dapat mengembangkan kemampuan investasi jangka panjangnya. Dari
sudut pandang tersebtu yaitu tanpa adanya pemberian margin yang cukup bagi PLN
dapat diartikan telah menyalahi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN karena
penugasan kepada BUMN untuk melakukan kewajiban pelayanan umum harus tetap
memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN (dalam hal ini untuk mengejar
keuntungan-Pasal 2 dan 12).
2.
Era setelah tahun 2007
Pada tahun 2007, dengan ikut
mempertimbangkan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, batasan umum subsidi
listrik kembali diperluas menjadi:
1.
Subsidi
listrik diberikan kepada pelanggan dengan golongan tarif yang harga jual tenaga
listrik rata-ratanya lebih rendah dari BPP.
2.
Subsidi
listrik sebagaimana dimaksud, dihitung dari selisih kurang antara harga jual
tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing golongan tarif dikurangi
BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing golongan tarif ditambah margin (%
tertentu dari BPP) dikalikan volume penjualan (kWh) untuk setiap golongan
tariff.
3.
Penentuan
margin berdasarkan usul dari Menteri ESDM dengan mempertimbangkan usulan dari
Menteri Negara BUMN.
Perhitungan
subsidi listrik menggunakan formula, yaitu:
S= - (HJTL - BPP (1+m)) x V
Keterangan:
S = subsidi listrik
HJTL = harga jual tenaga
listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing golongan tarif
BPP = BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing
golongan tariff
M = margin (%)
V = Volume penjualan tenaga listrik (kWh) untuk
setiap golongan tariff
Dari uraian diatas terlihat bahwa
pada era ini telah mulai diperkenalkan adanya margin sehingga telah memenuhi UU
Nomor 19 tahun 2003.
Margin dalam perhitungan pembayaran subsidi listrik merupakan
margin yang digunakan dalam perhitungan besaran subsidi listrik untuk
menghasilkan angka subsidi listrik yang ditetapkan dalam APBN atau
APBN-Perubahan.
Pembayaran subsidi listrik, yang diambil dari APBN, harus
dimintakan oleh PLN secara tertulis kepada Menteri Keuangan cq. Direktur
Jenderal Lembaga Keuangan. Jumlah subsidi ini dapat dibayarkan kepada sementara
secara bulanan sebesar 95 % dari hasil perhitungan verifikasi. Besarnya subsidi
listrik dalam satu tahun anggaran secara final ditetapkan bedasarkan laporan hasil
audit yang disampaikan oleh auditor kepada Menteri Keuangan. Apabila terdapat
selisih kurang pembayaran subsidi listrik antara yang telah dibayar kepada PLN
dengan hasil audit, jumlah selisih kurang dimaksud setelah mendapat persetujuan
dari Menteri keuangan dapat diusulkan untuk dianggarkan dalam APBN tahun
anggaran berikutnya atau APBN-Perubahan tahun anggaran berikutnya. Apabila
terdapatselisih lebih pembayaran subsidi listrik segera menyetorkan kelebihan
pembayaran tersebut ke rekening kas umum Negara Nomor 502.000000 di Bank
Indonesia sebagai penerimaan Negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.Besaran subsidi ini diperoleh per golongan tariff
dan per jenis tegangan (tegangan tinggi, tegangan menengah, tegangan rendah).Tariff
dasar listrik (TDL) yang berlaku saat ini adalah berdasarkan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 8 Tahun 2011 tanggal 7 Februari 2011 tentang Tarif Tenaga
Listrik yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan
Listrik Negara.
BIAYA POKOK PENYEDIAAN
Peraturan Menteri Keuangan nomor
111/PMK.02/2007 tanggal 14 September 2007 tentang Tata Cara Penyediaan
Anggaran, Perhitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik yang
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.02/2007 tanggal 17
Desember2007 tentang Perubahan Tata Cara Penyediaan Anggaran, Perhitungan,
Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik, menyatakan bahwa subsidi
listrik diberikan kepada pelanggan dengan golongan tariff yang harga jual
tenaga listrik rata-ratanya lebih rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan
di golongan tariff tersebut. Pemberian subsidi dimaksud dilaksanakan melalui PT
PLN (Persero).
Komponen
BPP sebagaimana dimaksud dalam meliputi:
1.
Pembelian
tenaga listrik termasuk sewa pembangkit
2.
Biaya
bahan bakar yang terdiri dari:
Ø Bahan bakar minyak
Ø Gas alam
Ø Panas bumi
Ø Batu bara
Ø Minyak pelumas
Ø Biaya retribusi air permukaan
3.
Biaya
pemeliharaan yang terdiri dari:
Ø Material
Ø Jasa borongan
4.
Penyusutan
atas aset tetap operasional; dan/atau
5.
Beban
bunga dan keuangan yang digunakan untuk penyediaan tenaga listrik
Komponen
BPP sebagaimana dimaksud, tidak termasuk:
1.
Biaya-biaya
penyediaan tenaga listrik untuk daerah-daerah yang tidak mengenakan tarif dasar
listrik (TDL)
2.
Beban
usaha pada unit penunjang yaitu jasa penelitian dan pengembangan, jasa
sertifikasi, jasa engineering, jasa dan produksi, jasa manajemen
konstruksi, serta jasa pendidikan dan latihan
3.
Biaya
tidak langsung yang terdiri dari:
ü Pemeliharaan wisma dan rumah dinas
ü Kepegawaian wisma dan rumah dinas
ü Pakaian dinas
ü Asuransi pegawai
ü Perawatan kesehatan pegawai
ü Biaya pegawai lainnya
ü Biaya lainnya wisma dan rumah dinas
ü Sewa rumah untuk pejabat
ü Penyisian piutang ragu-ragu
ü Penyisihan material
ü Bahan makanan dan konsumsi
ü Penyusutan wisma dan rumah dinas
ü Pajak penghasilan/UTBP; dan
ü Biaya usaha lainnya.
BPP dihitung berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral cq. Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan
Energi.Penetapan formula BPP termasuk juga penetapan besaran perkiraan susut
jaringan untuk satu tahun. Data BPP sementara (Rp/kWh) per tegangan di
masing-masing golongan tafir merupakan data BPP sementara yang digunakan dalam
penetapan jumlah subsidi listrik dalam APBN atau APBN-Perubahan atau
berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh instansi yang berwenang atas
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT PLN.
KESIMPULAN
Pada
dasarnya, biaya pembangkit terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.Sekitar
60 persen biaya pembangkit disumbang dari komponen biaya bahan bakar.Biaya
bahan bakar merupakan biaya variable yang paling signifikan tehadap biaya
pembangkit.Biaya variable lainnya adalah biaya pemeliharaan yang nilainya
bergerak sesuai dengan jumlah produksi tenaga listrik oleh pembangkit listrik
tersebut. Sedangkan biaya tetap pembangkit terdiri dari: biaya kepegawaian,
biaya administrasi, biaya beban bunga, dan penyusutan. Biaya-biaya ini tetap
ada walaupun pembangkit listrik tidak memproduksi tenaga listrik.
Factor-faktor
makroekonomi yang memperngaruhi biaya pokok penyediaan listrik untuk harga
energy primer adalah Indonesian Crude Petroleum, batu bara dunia, gas dan panas
bumi;inflasi Indonesia dan dunia; kurs rupiah terhadap dolar AS. Sedangkan
factor-faktor industry listrik yang mempengaruhi biaya pokok penyediaan listrik
adalah alpha Pertamina untuk bahan bakar minyak (HSD, IDO, dan MFO); pajak
pertambahan nilai BBM; susut jaringan tegangan tinggi, tegangan menengah dan
tegangan rendah; tingkat margin dari BPP; tingkat pertumbuhan permintaan listrik.
Semua factor asumsi, makroekonomi maupun industry, memenuhi besaran biaya
pembangkit, melalui biaya variable maupun biaya tetap.Biaya variable pembangkit
tersebut menjadi masukan bagi model biaya pokok penyediaan.Pengendalian yang
baik atas subsidi listrik adalah melalui pengendalianBPP listrik dan biaya
pembangkit sehingga tetap ada usulan perubahan besaran subsidi listrik oleh PLN
pada akhirnya tidak berdampak pada meningkatnya risiko fiscal. Untuk itu,
diperlukan informasi akuntansi untuk membuat prediksi-prediksi dan estimasi
mengenai subsidi listrik yang akan dating dan dikaitkan dengan keadaan ekonomi
dan politik pada saat tertentu.
Pertanyaan:
1.Bagaimana
perhitungan subsidi listrik dengan penggunaan formula..?
2.Pada
masa era manakah subsidi listrik paling menguntungkan bagi masyarakat..?
3.apa
saja dampak yang terjadi terhadap perekonomian masyarakat jika subsidi listrik
di cabut..?
4.apakah
subsidi listrik sama besarannya tiap golongan pengguna..?
5.Dengan
besarnya subdisi yang di berikan pemerintah ke pada masyarakat apakah itu
membebani anggaran pemerintah..?
6.apa
saja perbedaan subsidi era sebelum tahun 2007 dengan era setelah 2007..?
7.Dasar
hukum apa yang bisa menjelaskan tentang subsidi listrik..?
8.Bagaimana
pelayanan PLN terhadap masyarakat pada saat ini..?
9.apakah
PLN itu di kuasai seluruhnya oleh BUMN..?
10.
Pada UUD berapa Tarif tenaga Listrik di tetapkan...?
DAFTAR PUSTAKA
Murray,
B. 2009.Power Markets and Economics: Energy Costs, Trading, Emissions.
AS: penerbit Wiley.
Republik
Indonesia.Peraturan Menteri keuangan Nomor 111/PMK.02/2007 tanggal 14 September
2007 tentang Tata Cara Penyediaan Anggara, Perhitungan, Pembayaran, dan
Pertanggungjawaban Subsidi Listrik.
___.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.02/2007 tanggal 17 Desember 2007
tentang Perubahan Tata Cara Penyediaan Anggaran, Perhitungan, Pembayaran, dan
Pertanggungjawaban Subsidi Listrik.
__.
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2011 tanggal 7 Februari 2011 tentang Tarif
Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT
Perusahaan Listrik Negara.
__.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
__.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar