Sabtu, 24 September 2016

Subsidi Listrik

PENDAHULUAN
            Energy listrik merupakan salah satu factor yang penting untuk mencapai sasaran pembangunan nasional, sehingga perlu diusahakan agar serasi, selaras, dan serempak dengan tahapan pembangunan nasional. Sasaran pembangunan ketenaga listrikan harus selalu menunjang setiap tahapan pembangunan nasional, dalam meningkatkan kesejahteraan masyrakat maupun dalam mendorong peningkatan ekonomi. Pentingnya peranan listrik dapat ditinjau dari penggunaannya untuk beberapa bidang yaitu antara lain: bidang produksi seperti industry dan pabrik, bidang penelitian dan riset, bidang pertahanan dan keamanan, bidang komunikasi dan media massa, bidang rumah tangga. Dan lain sebagainya.
            Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan menyatakan bahwa tenaga listrik mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional, maka usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, merata, dan bermutu. UU Nomor 30 Tahun 2009 Pasal 3 ayat 1 menyatakan bahwa penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh Negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan prinsip otonomi dearah. Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh pemerintah dengan membentuk badan usaha milik Negara (Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 2009).
            Dalam UU Nomor 30 Tahun 2009 Pasal 33 dinyatakan bahwa tarif usaha penyediaan tenaga listrik. Pengelolaan usaha oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) selain berpedoman pada UU Nomor 30 Tahun 2009 juga berpedoman pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kerana statusnya selain BUMN. Dengan demikian, PLN harus mengejar keuntungan sebagaiamana dalam butir Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 12 UU tersebut. Dalam kaitan ini, apabila diperlukan, pemerintahan dapat memberikan penugasan kepada BUMN untuk melakukan kewajiban pelayanan umum (Publik service obligation/PSO) dengan tetap memberikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN dan setiap penugasan kewajiban pelayanan umum harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS/Mentri (Pasal 66).
            Kebijakan penentuan harga jual listrik (TDL) sampai saat ini selalu mengandung subsidi listrik sebagai salah satu bentuk pemberian keringanan beban bagi masyarakat yang dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN). Penyediaan dana subsidi listrik dianggarkan dalam APBN atau APBN-Perubahan. Subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah.


PERHITUNGAN DAN  PEMBAYARAN SUBSIDI LISTRIK
            Belanja subsidi ditujukkan untuk meringankan beban masyarakat yang kurang/tidak mampu guna memperoleh bahan bakar miyak (BBM), listrik, beras, pupuk, dan lainnya dengan harga yang murah atau terjangkau.Berdasarkan data realisasi subsidi APBN, selama ini meningkatnya angka subsidi APBN di-drive salah satunya yaitu oleh besaran subsidi listrik.Sejak tahun 2005, subsidi listrik memiliki kecenderungan yang terus meningkat tajam hingga tahun 2008. Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk subsidi naik Rp 88,1 triliun dari Rp 120,8 triliun (2005) menjadi Rp 208,9 triliun (2012).
            Pelaksanaan subsidi listrik oleh pemerintah pusat selama ini, dapat dibedakan menjadi dua era, yaitu sebagai berikut :
1. Era sebelum tahun 2007
1.      Golongan tarif S-1, S-2, R-1, I-1, dan B-1 diberikan untuk pelanggan dengan daya terpasang sampai dengan 450 Volt Ampere.
2.      Besarnya subsidi adalah selisih negative antara hasil penjualan listrik rata-rata (Rp/kWh) dikurangi HPP (Rp/kWh) rata-rata tegangan rendah dikalikan volume penjualan (kWh) untuk setiap golongan tarif.
Selanjutnya pada tahun 2005 dengan adanya kebijakan harga jual listrik yang tetap (tidak disesuaikan/tidak dinaikkan), subsidi listrik diperluas dengan batasan umum sebagai berikut.
1.      Subsidi listrik diberikan kepada pelanggan dengan golongan tarif yang harga jual tenaga listrik rata-ratanya lebihh rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di golongan tarif tersebut.
2.      Besarnya subsidi listrik dihitung dari selisih negative antara harga jual tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing golongan tarif tersebut dikalikan volume penjualan (kWh) untuk setiap golongan tarif.
Pada era ini, perhitungan subsidi belum memperhitungkan adanya margin agar PLN dapat mengembangkan kemampuan investasi jangka panjangnya. Dari sudut pandang tersebtu yaitu tanpa adanya pemberian margin yang cukup bagi PLN dapat diartikan telah menyalahi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN karena penugasan kepada BUMN untuk melakukan kewajiban pelayanan umum harus tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN (dalam hal ini untuk mengejar keuntungan-Pasal 2 dan 12).
2. Era setelah tahun 2007
            Pada tahun 2007, dengan ikut mempertimbangkan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, batasan umum subsidi listrik kembali diperluas menjadi:
1.      Subsidi listrik diberikan kepada pelanggan dengan golongan tarif yang harga jual tenaga listrik rata-ratanya lebih rendah dari BPP.
2.      Subsidi listrik sebagaimana dimaksud, dihitung dari selisih kurang antara harga jual tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing golongan tarif dikurangi BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing golongan tarif ditambah margin (% tertentu dari BPP) dikalikan volume penjualan (kWh) untuk setiap golongan tariff.
3.      Penentuan margin berdasarkan usul dari Menteri ESDM dengan mempertimbangkan usulan dari Menteri Negara BUMN.
Perhitungan subsidi listrik menggunakan formula, yaitu:
S= - (HJTL - BPP (1+m)) x V       

Keterangan:
S          =  subsidi listrik
HJTL   = harga jual tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing golongan tarif
BPP     =  BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing golongan tariff
M        =  margin (%)
V         =  Volume penjualan tenaga listrik (kWh) untuk setiap golongan tariff
            Dari uraian diatas terlihat bahwa pada era ini telah mulai diperkenalkan adanya margin sehingga telah memenuhi UU Nomor 19 tahun 2003.
Margin dalam perhitungan pembayaran subsidi listrik merupakan margin yang digunakan dalam perhitungan besaran subsidi listrik untuk menghasilkan angka subsidi listrik yang ditetapkan dalam APBN atau APBN-Perubahan.
Pembayaran subsidi listrik, yang diambil dari APBN, harus dimintakan oleh PLN secara tertulis kepada Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. Jumlah subsidi ini dapat dibayarkan kepada sementara secara bulanan sebesar 95 % dari hasil perhitungan verifikasi. Besarnya subsidi listrik dalam satu tahun anggaran secara final ditetapkan bedasarkan laporan hasil audit yang disampaikan oleh auditor kepada Menteri Keuangan. Apabila terdapat selisih kurang pembayaran subsidi listrik antara yang telah dibayar kepada PLN dengan hasil audit, jumlah selisih kurang dimaksud setelah mendapat persetujuan dari Menteri keuangan dapat diusulkan untuk dianggarkan dalam APBN tahun anggaran berikutnya atau APBN-Perubahan tahun anggaran berikutnya. Apabila terdapatselisih lebih pembayaran subsidi listrik segera menyetorkan kelebihan pembayaran tersebut ke rekening kas umum Negara Nomor 502.000000 di Bank Indonesia sebagai penerimaan Negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Besaran subsidi ini diperoleh per golongan tariff dan per jenis tegangan (tegangan tinggi, tegangan menengah, tegangan rendah).Tariff dasar listrik (TDL) yang berlaku saat ini adalah berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 Tahun 2011 tanggal 7 Februari 2011 tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara.

BIAYA POKOK PENYEDIAAN
            Peraturan Menteri Keuangan nomor 111/PMK.02/2007 tanggal 14 September 2007 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Perhitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik yang diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.02/2007 tanggal 17 Desember2007 tentang Perubahan Tata Cara Penyediaan Anggaran, Perhitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik, menyatakan bahwa subsidi listrik diberikan kepada pelanggan dengan golongan tariff yang harga jual tenaga listrik rata-ratanya lebih rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di golongan tariff tersebut. Pemberian subsidi dimaksud dilaksanakan melalui PT PLN (Persero).


Komponen BPP sebagaimana dimaksud dalam meliputi:
1.      Pembelian tenaga listrik termasuk sewa pembangkit
2.      Biaya bahan bakar yang terdiri dari:
Ø  Bahan bakar minyak
Ø  Gas alam
Ø  Panas bumi
Ø  Batu bara
Ø  Minyak pelumas
Ø  Biaya retribusi air permukaan
3.      Biaya pemeliharaan yang terdiri dari:
Ø  Material
Ø  Jasa borongan
4.      Penyusutan atas aset tetap operasional; dan/atau
5.      Beban bunga dan keuangan yang digunakan untuk penyediaan tenaga listrik
Komponen BPP sebagaimana dimaksud, tidak termasuk:
1.      Biaya-biaya penyediaan tenaga listrik untuk daerah-daerah yang tidak mengenakan tarif dasar listrik (TDL)
2.      Beban usaha pada unit penunjang yaitu jasa penelitian dan pengembangan, jasa sertifikasi, jasa engineering, jasa dan produksi, jasa manajemen konstruksi, serta jasa pendidikan dan latihan
3.      Biaya tidak langsung yang terdiri dari:
ü  Pemeliharaan wisma dan rumah dinas
ü  Kepegawaian wisma dan rumah dinas
ü  Pakaian dinas
ü  Asuransi pegawai
ü  Perawatan kesehatan pegawai
ü  Biaya pegawai lainnya
ü  Biaya lainnya wisma dan rumah dinas
ü  Sewa rumah untuk pejabat
ü  Penyisian piutang ragu-ragu
ü  Penyisihan material
ü  Bahan makanan dan konsumsi
ü  Penyusutan wisma dan rumah dinas
ü  Pajak penghasilan/UTBP; dan
ü  Biaya usaha lainnya.
BPP dihitung berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral cq. Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi.Penetapan formula BPP termasuk juga penetapan besaran perkiraan susut jaringan untuk satu tahun. Data BPP sementara (Rp/kWh) per tegangan di masing-masing golongan tafir merupakan data BPP sementara yang digunakan dalam penetapan jumlah subsidi listrik dalam APBN atau APBN-Perubahan atau berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh instansi yang berwenang atas Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT PLN.
KESIMPULAN
Pada dasarnya, biaya pembangkit terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.Sekitar 60 persen biaya pembangkit disumbang dari komponen biaya bahan bakar.Biaya bahan bakar merupakan biaya variable yang paling signifikan tehadap biaya pembangkit.Biaya variable lainnya adalah biaya pemeliharaan yang nilainya bergerak sesuai dengan jumlah produksi tenaga listrik oleh pembangkit listrik tersebut. Sedangkan biaya tetap pembangkit terdiri dari: biaya kepegawaian, biaya administrasi, biaya beban bunga, dan penyusutan. Biaya-biaya ini tetap ada walaupun pembangkit listrik tidak memproduksi tenaga listrik.
Factor-faktor makroekonomi yang memperngaruhi biaya pokok penyediaan listrik untuk harga energy primer adalah Indonesian Crude Petroleum, batu bara dunia, gas dan panas bumi;inflasi Indonesia dan dunia; kurs rupiah terhadap dolar AS. Sedangkan factor-faktor industry listrik yang mempengaruhi biaya pokok penyediaan listrik adalah alpha Pertamina untuk bahan bakar minyak (HSD, IDO, dan MFO); pajak pertambahan nilai BBM; susut jaringan tegangan tinggi, tegangan menengah dan tegangan rendah; tingkat margin dari BPP; tingkat pertumbuhan permintaan listrik. Semua factor asumsi, makroekonomi maupun industry, memenuhi besaran biaya pembangkit, melalui biaya variable maupun biaya tetap.Biaya variable pembangkit tersebut menjadi masukan bagi model biaya pokok penyediaan.Pengendalian yang baik atas subsidi listrik adalah melalui pengendalianBPP listrik dan biaya pembangkit sehingga tetap ada usulan perubahan besaran subsidi listrik oleh PLN pada akhirnya tidak berdampak pada meningkatnya risiko fiscal. Untuk itu, diperlukan informasi akuntansi untuk membuat prediksi-prediksi dan estimasi mengenai subsidi listrik yang akan dating dan dikaitkan dengan keadaan ekonomi dan politik pada saat tertentu.




Pertanyaan:
1.Bagaimana perhitungan subsidi listrik dengan penggunaan formula..?
2.Pada masa era manakah subsidi listrik paling menguntungkan bagi masyarakat..?
3.apa saja dampak yang terjadi terhadap perekonomian masyarakat jika subsidi listrik di cabut..?
4.apakah subsidi listrik sama besarannya tiap golongan pengguna..?
5.Dengan besarnya subdisi yang di berikan pemerintah ke pada masyarakat apakah itu membebani anggaran pemerintah..?
6.apa saja perbedaan subsidi era sebelum tahun 2007 dengan era setelah 2007..?
7.Dasar hukum apa yang bisa menjelaskan tentang subsidi listrik..?
8.Bagaimana pelayanan PLN terhadap masyarakat pada saat ini..?
9.apakah PLN itu di kuasai seluruhnya oleh BUMN..?
10. Pada UUD berapa Tarif tenaga Listrik di tetapkan...?  












DAFTAR PUSTAKA
Murray, B. 2009.Power Markets and Economics: Energy Costs, Trading, Emissions. AS: penerbit Wiley.
Republik Indonesia.Peraturan Menteri keuangan Nomor 111/PMK.02/2007 tanggal 14 September 2007 tentang Tata Cara Penyediaan Anggara, Perhitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik.
___. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.02/2007 tanggal 17 Desember 2007 tentang Perubahan Tata Cara Penyediaan Anggaran, Perhitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik.
__. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2011 tanggal 7 Februari 2011 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara.
__. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

__. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Belanja Modal Daerah

.
A)    PENGERTIAN BELANJA DAERAH
Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal (huruf q) menyebutkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Menurut Halim (2003), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya.
Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah. Sedangkan menurut Abdul Halim (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja daerah merupakan penurunan dalam manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau deplesi asset, atau terjadinya utang yang mengakibatkan berkurangnya ekuitas dana, selain yang berkaitan dengan distribusi kepada para peserta ekiutas dana.
Kemudian menurut Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja daerah adalah penurunan manfaat ekonomis masa depan atau jasa potensial selama periode pelaporan dalam bentuk arus kas keluar, atau konsumsi aktiva/ ekuitas neto, selain dari yang berhubungan dengan distribusi ke entitas ekonomi itu sendiri.
Dan menurut Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu belanja daerah daerah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode anggaran yang berupa arus aktiva keluar guna melaksanakan kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat.

Secara umum Belanja dalam APBD dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu:
a. Belanja Administrasi Umum
Belanja Administrasi Umum adalah semua pengeluaran pemerintah daerah yang tidak berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik. Belanja administrasi umum terdiri atas empat jenis, yaitu:
  1. Belanja Pegawai, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk orang/personel yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau dengan kata lain merupakan biaya tetap pegawai.
  2. Belanja Barang, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk penyediaan barang dan jasa yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik.
  3. Belanja Perjalanan Dinas, merupakan pengeluaran pemerintah untuk biaya perjalanan pegawai dan dewan yang  tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik.
  4. Belanja Pemeliharaan, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik.


b. Belanja Operasi, Pemeliharaan sarana dan Prasarana Publik
Belanja ini merupakan semua pengeluaran pemerintah daerah yang berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik. Kelompok belanja ini meliputi
1.)       Belanja Pegawai 
Belanja Pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang  maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan  yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh Belanja Pegawai adalah gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial dan lain-lain yang berhubungan dengan pegawai. 
2.)       Belanja Barang 
Belanja Barang adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang  dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja Barang dapat dibedakan menjadi Belanja Barang dan Jasa, Belanja Pemeliharaan dan Belanja Perjalanan Dinas ;
1.         Belanja Barang dan Jasa merupakan pengeluaran yang antara lain dilakukan untuk membiayai keperluan kantor sehari-hari, pengadaan barang yang habis pakai seperti alat tulis kantor, pengadaan/penggantian inventaris kantor, langganan daya dan jasa, lain-lain pengeluaran untuk membiayai pekerjaan yang bersifat non-fisik dan secara langsung menunjang tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, pengadaan inventaris kantor yang nilainya tidak memenuhi syarat nilai kapitalisasi minimum yang diatur oleh pemerintah pusat/daerah dan pengeluaran jasa non-fisik seperti pengeluaran untuk biaya pelatihan dan penelitian. 
2.         Belanja Pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk  mempertahankan aset tetap atau aset lainnya yang sudah ada ke dalam kondisi normal tanpa memperhatikan besar kecilnya jumlah belanja. Belanja Pemeliharaan meliputi antara lain pemeliharaan tanah, pemeliharaan  gedung dan bangunan kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor dinas,  perbaikan peralatan dan sarana gedung, jalan, jaringan irigasi, peralatan  mesin dan lain-lain sarana yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
3.         Belanja Perjalanan Dinas merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan  jabatan.
3.)       Belanja Bunga
Belanja Bunga adalah pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga (interest) atas kewajiban penggunaan pokok utang (principal outstanding) yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman jangka pendek atau  jangka panjang.
4.)       Belanja Subsidi 
Subsidi yaitu alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat. Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran subsidi kepada masyarakat melalui BUMN/BUMD dan perusahaan swasta. Jadi, Belanja Subsidi adalah pengeluaran pemerintah yang diberikan  kepada perusahaan/lembaga tertentu yang bertujuan untuk membantu biaya  produksi agar harga jual produk/jasa yang dihasilkan dapat dijangkau oleh masyarakat.
5.)       Belanja Hibah  
Hibah adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau  jasa kepada pemerintah atau pemerintah lainnya, perusahaan daerah,  masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah  ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat serta tidak  secara terus menerus. 
6.)       Bantuan Sosial  
Bantuan Sosial adalah transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk di dalamnya bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. Jadi Belanja Bantuan Sosial adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang sifatnya tidak terus-menerus dan selektif.
c. Belanja Modal

Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang menfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan.
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset  tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Untuk mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan sebagai Belanja Modal atau tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset lainnya dan kriteria kapitalisasi aset tetap. Aset tetap mempunyai ciri-ciri/karakteristik sebagai berikut : berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, nilainya relatif material. Sedangkan ciri-ciri/karakteristik Aset Lainnya adalah : tidak berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, nilainya relatif material.  Dari ciri-ciri/karakterisitik tersebut di atas, diharapkan entitas dapat menetapkan kebijakan akuntansi mengenai batasan minimal nilai kapitalisasi suatu aset tetap atau aset lainnya (treshold capitalization), sehingga pejabat/aparat penyusun anggaran dan/atau penyusun laporan keuangan pemerintah mempunyai pedoman dalam penetapan belanja modal baik waktu penganggaran maupun pelaporan keuangan pemerintah.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu  belanja dapat dikategorikan sebagai Belanja Modal jika:  
(a)       pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang dengan demikian menambah aset pemerintah;  
(b)       pengeluaran tersebut melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah;  
(c)       perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.  
2.         Konsep Nilai Perolehan 
Konsep nilai perolehan sebenarnya tidak hanya berlaku pada aset tetap  saja, melainkan berlaku juga untuk barang persediaan. Belanja Modal meliputi antara lain: belanja modal untuk perolehan  tanah; gedung dan bangunan; peralatan dan mesin; jalan, irigasi dan jaringan, aset tetap lainnya dan aset lainnya.
Komponen Belanja Modal untuk perolehan aset tetap meliputi harga beli aset tetap ditambah semua biaya lain yang dikeluarkan sampai aset tetap tersebut siap untuk digunakan, misalnya biaya transportasi, biaya uji coba dan lain-lain. Demikian juga pengeluaran  untuk belanja perjalanan dan jasa yang terkait dengan perolehan aset tetap atau aset lainnya, termasuk di dalamnya biaya konsultan perencana, konsultan  pengawas dan pengembangan perangkat lunak (software), harus ditambahkan pada nilai perolehan.
Komponen-komponen tersebut harus dianggarkan dalam APBN/APBD sebagai Belanja Modal dan bukan sebagai Belanja Operasional. Tentu harus diperhatikan nilai kewajaran dan kepatutan  dari biaya-biaya lain di luar harga beli aset tetap tersebut. 
Di samping belanja modal untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya,  belanja untuk pengeluaran-pengeluaran sesudah perolehan aset tetap atau  aset lainnya dapat juga dimasukkan sebagai Belanja Modal. Pengeluaran  tersebut dapat dikategorikan sebagai Belanja Modal jika memenuhi  persyaratan sebagai berikut: 
(a)       Pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas, kualitas dan volume aset yang telah dimiliki.  
(b)       Pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimal nilai kapitalisasi aset  tetap/aset lainnya. 
Terkait dengan kriteria pertama di atas, perlu diketahui tentang pengertian  berikut ini:
(a)       Pertambahan masa manfaat adalah bertambahnya umur ekonomis yang diharapkan dari aset tetap yang sudah ada. Misalnya sebuah gedung semula diperkirakan mempunyai umur ekonomis 10 tahun. Pada tahun ke-7 pemerintah melakukan renovasi dengan harapan gedung tersebut masih dapat digunakan 8 tahun lagi. Dengan adanya renovasi tersebut maka umur gedung berubah dari 10 tahun menjadi 15 tahun.  
(b)       Peningkatan kapasitas adalah bertambahnya kapasitas atau kemampuan aset tetap yang sudah ada. Misalnya, sebuah generator listrik yang mempunyai output 200 KW dilakukan renovasi sehingga kapasitasnya meningkat menjadi 300 KW. 
(c)       Peningkatan kualitas aset adalah bertambahnya kualitas dari aset tetap  yang sudah ada. Misalnya, jalan yang masih berupa tanah ditingkatkan oleh  pemerintah menjadi jalan aspal.  
(d)       Pertambahan volume aset adalah bertambahnya jumlah atau satuan  ukuran aset yang sudah ada, misalnya penambahan luas bangunan suatu  gedung dari 400 m2 menjadi 500 m2

3.         Jaminan Pemeliharaan 
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang  Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 (Perubahan Keempat), pembayaran termin terakhir atas penyerahan pekerjaan yang sudah jadi dari Pihak Ketiga, dapat dilakukan melalui dua (2) cara yaitu: 
1.)       Pembayaran dilakukan sebesar 95 % (sembilan puluh lima persen) dari nilai kontrak, sedangkan yang 5 % (lima persen) merupakan  retensi selama masa pemeliharaan. 
2.)       Pembayaran dilakukan sebesar 100 % (seratus persen) dari nilai  kontrak dan penyedia barang/jasa harus menyerahkan jaminan bank  sebesar 5 % (lima persen) dari nilai kontrak yang diterbitkan oleh Bank Umum atau oleh perusahaan asuransi yang mempunyai program asuransi kerugian (surety bond) dan direasuransikan sesuai dengan ketentuan Menteri Keuangan. Penahanan pembayaran senilai 5 (lima) persen dari nilai kontrak seperti dimaksud dalam nomor 1 harus diakui sebagai utang retensi, sedangkan jaminan bank untuk pemeliharaan harus diungkapkan dalam Catatan atas  Laporan Keuangan.  

Belanja modal dibagi menjadi:
  1. Belanja Publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. Contoh belanja publik yaitu pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans.
  2. Belanja aparatur yaitu belanja yang menfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat akan tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Contoh belanja aparatur: pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan, dan pembangunan rumah dinas.
d. Belanja Transfer
Belanja Transfer merupakan pengalihan uang dari pemerintah daerah kepada pihak ketiga tanpa adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan meupun keuntungan dari pengalihan uang tersebut.  Kelompok belanja ini terdiri atas pembayaran:
1. Angsuran Pinjaman
2. Dana Bantuan
3. Dana Cadangan
e. Belanja Tak Tersangka
Belanja tak tersangka adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian luar biasa.

C). Klasifikasi Belanja Daerah
a.Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang Keuangan  Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa  rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga (di tingkat pemerintah  pusat) dan rencana kerja dan anggaran SKPD (di tingkat pemerintah daerah) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
Pendekatan prestasi kerja mensyaratkan bahwa kementerian negara/lembaga dan SKPD harus diukur kinerjanya berdasarkan program/kegiatan yang telah direncanakan. Oleh karena itu, agar dapat diukur kinerjanya, menurut Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 20 ayat (5)  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, ditetapkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD) terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. 
Ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dengan Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa di dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga juga mengatur tentang klasifikasi yang lebih detail yang pada prinsipnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003.
b. Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02, ditetapkan bahwa belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi dan fungsi. Rincian tersebut merupakan persyaratan minimal yang harus disajikan oleh entitas  pelaporan. Selanjutnya dicontohkan pada Paragraf 39 PSAP 02 klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi Belanja Operasi, Belanja Modal dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga.
Belanja Operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum Negara/Daerah dalam rangka menyelenggarakan operasional pemerintah, sedangkan Belanja Modal adalah belanja yang dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang modal. Belanja Operasi selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga.
Di samping itu, klasifikasi belanja menurut fungsi dibagi menjadi : pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, perlindungan, lingkungan hidup, perumahan dan pemukiman, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan dan perlindungan sosial. Pengklasifikasian ini mengikuti pola Government Financial Statistics (GFS) yang diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF). 

c.Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan  klasifikasi belanja sebagai berikut: 
1.    Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan serta jenis belanja;
2.    Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah
3.    Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari :
(a)       klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial pemerintahan daerah;
(b)       klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara. 

d.Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006  tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor  58 Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri  Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :
1.         Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang  menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari belanja  urusan wajib dan belanja urusan pilihan. 
2.         Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan  keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada Peraturan  Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.  Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas: pelayanan umum, ketertiban dan  ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri  Nomor 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi “pertahanan” dan “agama”  karena kedua fungsi tersebut adalah urusan pemerintahan yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan. 
3.         Klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja tak langsung. Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria apakah suatu  belanja mempunyai kaitan langsung dengan program/kegiatan atau tidak.  Belanja yang berkaitan langsung dengan program/kegiatan (misalnya belanja honorarium, belanja barang, belanja modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin Teknis Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja yang tidak secara langsung dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan sebagainya)  diklasifikasikan sebagai belanja tidak langsung.
1.      BELANJA MODAL
A.     Pengertian Belanja Modal
Belanja modal adalah komponen belanja langsung dalam anggaran pemerintah yang menghasilkan output berupa aset tetap. Dalam pemanfaatan aset tetap yang dihasilkan tersebut, ada yang bersinggungan langsung dengan pelayanan publik atau dipakai oleh masyarakat (seperti jalan, jembatan, trotoar, gedung olah raga, stadion, jogging track, halte, dan rambu lalu lintas) dan ada yang tidak langsung dimanfaatkan oleh publik (seperti gedung kantor pemerintahan). Dalam perspektif kebijakan publik, sebagian besar belanja modal berhubungan dengan pelayanan publik, sehingga pada setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar.
Namun, tidak selalu belanja modal berhubungan langsung dengan pelayanan publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang sepenuhnya dinikmati oleh aparatur (birokrasi) atau satuan kerja yang tidak berhubungan langsung dengan fungsi pelayanan publik. Sebagai contoh adalah belanja modal untuk pembangunan kantor Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) atau inspektorat daerah. Oleh karena itu, tidak tepat jika dikatakan bahwa belanja modal adalah belanja publik, atau sebaliknya, belanja publik adalah belanja modal. Pengaktegorian ke dalam belanja publik dan belanja aparatur mengandung bias dari aspek penggunaan makna fungsi (outcome) belanja.
B.     Penganggaran Belanja Modal
Pada prinsipnya alokasi belanja modal dibuat untuk menghasilkan aset tetap milik pemerintah daerah yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah dan atau masyarakat di daerah bersangkutan. Dalam perspektif penganggaran partisipatif, keterlibatan masyarakat diharapkan dapat memberikan masukan penting dalam memilih aset tetap yang akan diperoleh dari pelaksanaan anggaran belanja modal. Penyediaan fasilitas publik yang sesuai dengan kebutuhan publik merupakan keniscayaan, bukan suatu pilihan.
Pada kenyataannya, praktik penganggaran belanja modal di pemerintah daerah cenderung bersinggungan dengan korupsi atau pencarian rente (rent-seeking) oleh para pembuat keputusan anggaran (budget actors). Setiap tahapan dalam penganggaran memang memiliki ruang untuk korupsi (Isaksen, 2005), namun korupsi dalam pengadaan aset tetap atau barang modal, terutama yang memiliki spesifikasi khusus, termasuk yang paling sering terjadi (Tanzi, 2001).
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penganggaran belanja modal adalah belanja ikutan setelah aset tetap diperoleh, yakni belanja operasional dan pemeliharaannya aset tetap bersangkutan. Untuk itu, perlu dilakukan penghitungan yang cermat agar nantinya tidak membebani anggaran berupa pengurangan atas alokasi anggaran untuk bidang/sektor lain (trade-off). Dalam ilmu ekonomi, trade-off yang besar akan menghasilkan kebijakan yang tidak optimal.
2.      PERMASALAHAN DAN SOLUSI BIAYA MODAL
Seringkali dalam proses penyusunan anggaran ditemui beberapa permasalahan, antara lain adanya perbedaan persepsi dalam penyusunan dan pengelompokan belanja. Perbedaan yang biasa dijumpai adalah dalam menentukan elemen-elemen biaya yang dimungkinkan dikelompokkan dalam belanja  barang dan belanja modal.
Menurut Permen 13/2006, belanja barang adalah belanja barang dan jasa digunakan untuk pengeluaran pembelian/pendapatan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah.
Pembelian/pengadaan barang dan/atau pemakaian jasa mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material , jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gedung parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai.
Sementara belanja modal, digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
Struktur belanja modal pun perlu mendapat perhatian khusus, karena tidak semua belanja modal berefek pada pelayanan publik. Untuk itu, belanja modal perlu dibedah lebih rinci untuk menemukan belanja modal yang berefek pada pelayanan publik, misalnya belanja modal infrastruktur.
Struktur belanja pegawai pun perlu dibedah lebih rinci, karena dalam belanja pegawai, tidak saja untuk pegawai administrasi tapi juga tenaga pendidik dan tenaga kesehatan yang berefek pada pelayanan masyarakat.Melihat struktur belanja modal dan belanja pegawai, maka perlu dilakukan redefinisi terhadap belanja modal dan belanja pegawai, dalam rangka memperoleh analisis keuangan daerah yang mendukung penyelenggara pemerintah daerah.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, pemerintah pusat terus menghimbau pemerintah daerah (pemda) agar persentasi belanja modal terus ditingkatkan sebesar 30 persen. Presentasi itu bahkan lebih tinggi dua persen daripada target untuk 2013 yaitu 28 persen. Sayangnya, masih banyak pemda yang merasa kesulitan untuk mencapai target tersebut.
Penambahan presentase belanja modal itu, tidak sulit karena dilaksanakan secara bertahap. Yaitu mulai dari 24 persen, kemudian 26-27 persen, sehingga pada 2014 tinggal tambah tiga persen. Saat ini sudah ada beberapa daerah yang mencapai 30 persen.
Menurut Mendagri Gunawan Fauzi, kalau ada efisiensi, baik itu dari dana perjalanan dinas maupun dalam belanja pegawai, maka dana ini bisa dialihkan untuk belanja modal. Kalau belanja pegawai dapat diturunkan, maka APBD akan semakin sehat.Memang, kecenderungan dari tahun ke tahun, belanja modal daerah sudah memperlihatkan peningkatan. Namun, peningkatan tersebut harus diekselerasi. Upaya ini dianggap lebih memberi dorongan pada sektor ekonomi, selain lebih bermanfaat bagi daerah ketimbang APBD dihabiskan untuk pembayaran gaji pegawai pemda.
Cara menambah alokasi belanja modal ialah berhemat pada belanja pegawai dan belanja barang. Belanja pegawai ditekan dengan tidak merekrut pegawai baru kecuali guru, dokter, dan perawat. Belanja barang dihemat dengan mengurangi perjalanan dinas yang tidak perlu.
Mayoritas dana transfer daerah yang diberikan Pemerintah Pusat kepada pemda digunakan untuk mensejahterakan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal itu terlihat dari data yang diformulasi oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bahwa pada 2013, rata-rata belanja pegawai untuk pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 49 persen. Padahal rata-rata belanja modalnya hanya 25,3 persen.
Kenyataan tersebut menguatirkan, karena mengindikasikan bahwa dana transfer daerah yang jumlahnya terus meningkat tidak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan karena habis untuk belanja pegawai. Sebuah studi menekankan bahwa pengaruh belanja pemda tidak signifikan mempengaruhi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Dengan kata lain, peningkatan dana transfer ternyata belum mampu mengurangi ketimpangan yang ada.
Sebetulnya pemasukan pemda tidaklah hanya dari dana transfer Pemerintah Pusat, tetapi juga dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di antaranya adalah pajak yang dipungut oleh pemda atau retribusi. Juga dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan layanan Umum (BLU) seperti Rumah Sakit Umum Daerah. Tapi masalahnya sangat klasik, yaitu BUMD banyak yang tidak efisien, malah sering harus nombok. Sedangkan retribusi sudah mulai dipangkas karena menghambat investasi. Sementara BLU urgensinya ke pelayanan, sehingga income-nya kecil.
Dengan PAD yang kecil itu, Pemda pada umumnya bergantung pada dana transfer daerah. Namun disayangkan ketika dana tersebut sebagian besar habis untuk belanja pegawai. Idealnya, proporsi belanja modal ditingkatkan menjadi 35 persen, sehingga pembangunan di daerah bisa lebih terasa. Sayang, belum ada aturan yang memberikan punishment bagi yang sedikit mengalokasikan dananya untuk belanja modal, dan tidak ada bentuk penghargaan terhadap Pemda yang belanja modalnya tinggi.
Ke depan, harus ada langkah untuk memperbaiki sistem desentralisasi fiskal. Di antaranya adalah merubah perilaku dan struktur belanja pemda agar kualitas belanjanya semakin membaik. Pertumbuhan belanja modal per tahun sebaiknya harus lebih cepat ketimbang belanja pegawai, khususnya di tingkat pemerintah kabupaten/kota.
Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah, Jakarta, Salemba Empat.
UUP STIM YKPN.2008. Analisis investasi (belanja modal) sektor publik-pemerintah daerah



Pertanyaan:
1.      Jelaskan pengertian belanja daerah?
2.      Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis belanja daerah?
3.      Apakah bantuan social dapat langsung diberikan kepada masyarakat.jelaaskan?
4.      Sebutkan cirri-ciri asset tetap?
5.      kapan suatu belanja dapat dikategorikan sebagai belanja modal?
6.      Jelaskan pengertian belanja hibah dan belanja transfer?
7.      Sebutkan dan jelaskan apa-apa saja belanja modal ?
8.      Mengapa penganggaran belanja modal cenderung bersinggungan dengan korupsi?
9.      Sebutkan klasifikasi belanja daerah?
10.  Apa solusi dalm permasalahan belanja modal?